Pages

Monday, November 23, 2009

Werkudara atau Duryudana ?

Werkudara atau Duryudana ?

Masyarakat Jawa memiliki kebiasaan untuk menilai
seseorang antara lain dari sosok lahiriah. Cara memandang seperti ini, menyebabkan di kalangan
masyarakat Jawa ada istilah katuranggan.

Kata ini berasal dari kata dasar turangga yang
berarti kuda atau kendaraan. Kata ini dipilih untuk menegaskan bahwa dalam
kultur Jawa, penampilan lahiriah itu
tetap penting. Walaupun demikian bukan
menjadi satu-satunya pembenaruntuk menjatuhkan pilihan hanya dengan
melihat ciri-ciri fisik belaka.

Tetapi jelas, bahwa memberikan
penekanan pada keadaan fisik dengan simbolisasi turangga atau kuda ini, bukan sembarangan, karena kuda
memang binatang peliharaan yang menjadi kebanggaan bagi masyarakat Jawa, dan
bahkan hampir di seluruh dunia.

Paling tidak, ada tiga kebanggaan
bagi orang Jawa, yaitu kukila(burung) , turangga (kuda)
dan curiga (keris).

Ketiganya merupakan simbol kebangsawanan dan kepemimpinan.

Tidak mengherankan, jika dalam
berbagai epik cerita Jawa selalu terdapat ketiga simbol tersebut. Bahkan
keahlian seseorang pembuat keris (empu)
merupakan keahlian yang sangat terhormat. Tentu kita ingat kisah tentang Empu
Gandring yang membuat keris untuk menjadi simbol
kekuasaandan piyandel para pemegang tampuk kekuasaan di
Jawa.

Karena kita tidak akan berbicara
mengenai kukila dan curiga, maka kita akan
memfokuskan diri berbicara tentang turangga.

Kata dasar turangga yang kemudian mendapat
awalan ka dan akhiran an menjadi katuranggan,
yang dapat dipahami sebagai cara untuk melihat sisi kejiwaanseseorang melalui
penampilan lahiriahnya.

Para dalang di Jawa, selalu
menggambarkan katuranggan sosok
wayangsetiap kali memainkan wayang itu untuk menjelaskan seperti apa gambaran sifat dan perilakumelalui
fisik tokoh yang dimaksudkan.

Cara ini dianggap sebagai cara
yang paling mudah untuk menilai seseorang, terutama ketika orang Jawa hendak
memilih seseorang sebagai pemimpin.

Walaupun demikian, hanya dengan
melihat katuranggan saja, orang seringkali salah.

Namanya juga ciri fisik –orang
Jawa menyebutnya wadag– jauh lebih banyak menipu dibandingkan
dengan kondisi riil si tokoh itu.

Sekedar contoh, dalam dunia
pewayangan, ada dua tokoh yang mempunyai dedeg piyadeg atau
ciri fisik yang nyaris sama. Tokoh yang dimaksud adalah Werkudaradan Duryudana.

Werkudara adalah anak kedua Pandu Dewanatadari Pandawa Limayang berbadan tinggi dan tegap. Dia selalu digambarkan
sebagai penyangga keutuhan Pandawa Lima karena kekuatan fisiknya dan –tentu
saja– ilmunya.

Sehingga Werkudara selalu menjadi
benteng terakhir ketika keselamatan negara, rakyat dan keluarganya terancam.
Bahkan acapkali dia tidak memedulikan keselamatannya sendiri, asalkan negara,
rakyat dan keluarganya tetap berdidi tegak. Dalam keadaan ini, dia adalah
seorang satria pembela negara yang sangat
patriotik.

Werkudara memiliki beberapa nama,
tetapi yang sering digunakan adalah Bima, Werkudara, dan Bratasena.

Ilmunya juga sempurna, karena ia
seorang murid yang sangat taat kepada gurunya yaitu Pandita Durna.

Dia adalah sosok seorang yang
lugu, jujur dan selalu berbicara apa adanya. Apapun perintah gurunya akan
dilaksanakan sampai tuntas walaupun sulit dan berbahaya.

Karena keluguannya pula, dia
tidak curiga sedikit pun ketika gurunya memerintahkan untuk mencari air
kehidupan sampai ia harus bertapa di tengah samudera menghadapi amukan
badai dan gelombang yang dahsyat.

Tetapi justru di situlah dia
bertemu dengan Guru Sejati yang disebut Dewa Ruci.

Tokoh Dewa Ruci adalah sosok yang mirip Werkudara dalam bentuk’mini’.

Dari Guru Sejati inilah dia memperoleh ilmu yang tiada tara
bandingannya.
Itulah Werkudara, alias Bima,
alias Bratasena.

Banyak pemimpin Indonesia yang
mengidolakan sosok ini dan memajang tokoh wayang itu di rumah kediaman untuk
menegaskan keinginannya meniru wataksatria yang satu ini.

Padahal Werkudara bukan pemimpin negara. Apakah nantinya
sosok tokoh yang dipajang itu berdampak pada caradan sikapkepemimpinanny a, itu soal lain.

Bagaimana dengan tokoh yang satu
lagi, yaitu Duryudana?.

Duryudana adalah Raja Astinayang memiliki dedeg
piyadeg sama persis dengan
Werkudara. Tinggi besar, tegap dan tentu saja bertenaga.

Dia adalah anak tertua Prabu Destarata, kakak Pandu Dewanata, yang konon menurut
cerita mempunyai anak 100 orang banyaknya.

Dia digambarkan sebagai raja
gung binathara alias Raja yang terhormat memiliki kekuasaan mutlak.

Dia selalu didampingi oleh Patih Sangkuni, Pandita Durna, dan raja-raja kecil yang menjadi mitra koalisinya.

Patih Sangkuni adalah seorang
yang memiliki keahlian mengatur siasat.

Maka, dalam Perang Baratayudha, dia adalah pengatur
strategiyang sangat piawai. Sayangnya, di dalam pikirannya tidak ada lain
kecuali jabatan, kekuasaandan kedekatandengan Sang Raja.

Maka demi memuaskan Raja, taktikdan strategi licikpun tidak
haramuntuk dilaksanakan demi melanggengkan
kedudukan.

Berbeda dengan Sri Kresna, yang menjadi penasehatKeluarga Pandawa.

Dia tahu apa yang harus
dikerjakan, karena sebagai titisan Wisnu, dia paham apa yang akan
terjadi dalam Perang Baratayudha, karena dia memegang Kitab Jitapsara yaitu skenario yang dibuat para Dewa untuk
Perang Baratayudha.

Siapa lawan siapa dan siapa yang
akan kalah atau gugur di medan laga sudah ditulis disana.

Sehingga Sri Kresna selalu
menunggu apa yang akan dilakukan oleh Kurawa(Astina) .

Ketika Kurawa mengeluarkan Bismasebagai Panglima perang, Kresna
menunjuk Srikandi–isteri Arjuna–
untuk menandingi. Kresna memanfaatkan kelemahan Resi Bisma yang pernah
mengecewakan seorang wanita yang amat mencintainya.

Dia tidak mau menikahi wanita itu
karena terikat sumpahnya sendiri tidak akan menikah seumur hidupnya. Karena
kecewa, diapun bunuh diri dan bersumpah akan membalas sakit hatinya lewat seorang wanita pula. Wanita yang
dimaksud itu adalah Srikandi, isteri Arjuna yang memang tangkas dan ahli
memanah. Bisma pun gugur.

Lalu, ketika Kurawa memajukan Prabu Salyayang memiliki ajian Sasra Birawa, Kresna menunjuk Prabu Samiaji, anak tertua Pandawa untuk
menandingi.

Pilihan ini agak mengherankan,
karena Prabu Samiaji adalah orang yang tidak
pernah marah. Apapun yang dia miliki akan diberikankepada siapa pun yang meminta. Itulah sebabnya, dia dan
keempat saudaranya terusir dari Astina ketika kalah bermain dadu karena
dicurangi oleh Kurawa atas akal licik Patih Sangkuni.

Justru Kresna memilih Prabu
Samiaji untuk maju perang untuk menghadapi ajian Sasra Birawa yang dimiliki
Prabu Salya, setelah dia mengutus si kembar Nakuladan Sadewakepada Prabu Salya
menyampaikan permintaan agar mereka berdua dibunuh karena tidak tahan melihat
penderitaan saudara-saudaranya akibat keperkasaan Prabu Salya yang adalah
uwaknya sendiri.

Nakula-Sadewa adalah anak kembar
keluarga Pandawa dari ibu yang bernama Dewi
Madrim, adik Prabu Salya.

Maka Salya pun memberitahu dua
keponakannya itu, agar Prabu Samiaji maju ke medan laga. Dialah satu-satunya
orang yang dapat menandingi ajian Sasra Birawa.

Ajian ini diperoleh oleh Salya
muda dari mertuanya seorang sakti berwajah raksasa Bagaspati. Sebenarnya ajian ini diperoleh dengan cara licik, yakni
memanfaatkan kecantikan Setyawati,
anak Bagaspati yang cinta mati padanya. Salya muda hanya mau menikahi
Setyawati, jika Bagaspati menyerahkan ajian Sasra Birawa itu kepadanya. Demi
cintanya kepada anaknya, dengan berat hati, Bagaspati menyerahkan ajian itu
kepada Salya.

Dan dengan ajian itu pula,
Bagaspati tewas di tangan menantunya.
Saat meregang nyawa itulah Bagaspati menyatakan, kelak Salya akan bernasib sama
dengannya dalam perang Baratayuda ketika berhadapan dengan seorang satria berdarah putih. Satria itulah
Prabu Samiaji.

Prabu Salya pun gugur, karena
ajian Sasra Birawa tidak mempanpada musuh yang tidak mudah digoda nafsu amarahseperti Samiaji.

Bagaspati sendiri yang
menggerakkan tangan Samiaji untuk membunuh Prabu Salya.

Sebenarnya, Kurawa bukanlah orang
yang mudah dikalahkan, karena mereka pun murid Pandita Durna.

Mereka mudah dikalahkan, karena
Prabu Duryudana sebagai Raja yang memiliki kekuasaan mutlak itu tidak cekatan mengambil keputusan.

Dia mudah dipengaruhi oleh mitra koalisinya, penasehatnya yaitu Patih Sangkuni.

Bahkan ketika dia harus
berhadapan dengan Werkudara dalam perang tanding, meskipun secara fisik dan
ilmu tidak kalah, dia jadi pecundang karena sikap
cengengnya.

Tiap sebentar dia bertanya kepada Sangkuni, kepada saudaranyaatau kepada raja kecil mitra koalisinya.

Bisa ditebak jika akhirnya dia
pun gagal, dan menjadi pecundang.

Kita mengidamkan pemimpin kita
laksana Werkudara, bukan Prabu Duryudana.

Sebab meskipun secara fisik
serupa, tetapi ternyata kegagahan dan
ketampanan fisik saja tidak cukup memadai untuk mengatasi keadaan gawat.

Sumber: milis pro kahmi