Pages

Wednesday, September 29, 2010

Kampus Baranangsiang Situs Sejarah!

Kampus Baranangsiang Situs Sejarah!

PERNAH bermukim di Universitas Goettingen? Di Bogor banyak dosen bergelar pascasarjana S-2 bahkan S-3 dari Kampus itu yang sudah sangat tua. Salah seorang tokoh terkenalnya adalah Carl Friedrich Gauss yang gambarnya ditampilkan di lembar uang DM 10. Di sebelahnya ada kurva sebaran normal, di belakangnya ada gambar Departemen Matematikanya. Kampus tua yang ada di dalam kota dan dekat dengan pasar masih tetap terpelihara walaupun di luar kota itu sudah didirikan juga kampus baru untuk berbagai kegiatan akademik.

Perpustakaan tua kampus merangkap perpustakaan kota dan pustakawan terkenalnya di zaman dahulu adalah dua bersaudara Grimm. Rumah kos berbagai tokoh terkenal di dalam kota tua juga masih terpelihara dan diberi plakat: "Di sini pernah tinggal Carl Friedrich Gauss dan di sana Weber".

Di ujung kota terdapat pekuburan dan kalau mau kita dapat meziarahi makam Carl Friedrich Gauss dan tokoh-tokoh ilmuwam Goettingen terkenal lainnya.

Di pasar ada patung seorang gadis peternak angsa memegang seekor angsa. Setiap doktor lulusan Goettingen sudah pernah mencium patung Ganzeliesl itu karena menurut tradisi ia harus melakukannya segera setelah ia lulus ujian mempertahankan disertasi. Ia akan diarak kawan-kawannya ke sana dan kemudian dibawa masuk ke Ratskeller untuk minum-minum merayakan kemenangannya. Itulah dia napas akademik suatu universitas. Di satu pihak menerobos ke masa depan untuk menemukan hal-hal yang baru, di pihak lain bertahan pada tradisi akademik universitasnya yang merupakan hukum adat. Hukum adat itu baru terkodifikasi setelah pada tahun 1945 Hitler kalah, semua universitas di Jerman dipaksa untuk menyusun statuta mereka masing-masing oleh tentara pendudukan Sekutu.

SEKARANG kita tinjau distrik 19 Viena, ibu kota Austria yang menjadi tapak Universitas Viena. Tetapi, yang akan kita perhatikan adalah sebuah gimnasium yang terletak pada Gymnasiumstrasse. Gedungnya kuno dan ada di antara berbagai gedung modern.

Di dinding gerbang masuknya terdapat suatu plaket bertuliskan: "Sekolah ini sudah menghasilkan dua pemenang hadiah Nobel." Saya lupa siapa mereka, tetapi itu mudah dilacak karena satu adalah pemenang Nobel untuk Fisika dan yang lain pemenang hadiah Nobel untuk Kimia.

Setelah itu mari kita ke Bogor dan menyimak kampus tua Institut Pertanian Bogor yang mulai dibangun pada tahun 1952. Batu pertamanya diletakkan oleh Presiden pertama Republik kita pada tanggal 27 April 1952. Pidato peletakan batu pertama itu berjudul "Soal Hidup atau Mati".

Penyusun skenario pidato itu adalah Wakil Presiden Universitas Indonesia, Mas Wisaksono Wirjodihardjo, lulusan Sekolah Pertanian Menengah (Cultuur School) yang karena pintarnya boleh meneruskan ke Sekolah Pertanian Menengah Atas (Middelbare Landbouw School) Bogor dan yang karena pintarnya lagi boleh meneruskan ke Sekolah Gula di Yogyakarta.

Lulus dari sekolah ini beliau bekerja di Balai Penelitian Tanah Bogor sebagai analis kimia, tetapi karena pintarnya lagi betapa terkejut orang Belanda yang membolehkannya masuk, menjadi ahli kimia kesuburan tanah yang andal walaupun sesungguhnya mereka tidak ingin ada orang Indonesia bisa menjadi ahli kimia kesuburan tanah.

Pidato soal hidup atau mati Bung Karno itu bercerita tentang masalah besar yang kita hadapi di masa depan (ditinjau dari segi tahun 1952) dan yang ternyata memang sekarang menjadi kenyataan. Pidato itu saya kira diarsipkan dalam Lembaran Negara tahun 1952 dan kalau saja semua mahasiswa pertanian dan teknik diwajibkan membaca tulisan itu, Sarjana-sarjana teknik sipil akan pikir-pikir mengonversi sawah kelas satu menjadi padang golf. Demikian pula sarjana pertanian akan merasa berdosa ketika setiap akhir minggu main golf di padang golf yang tadinya adalah sawah kelas satu.

Ketika Bung Karno angkat pidato meletakkan batu pertama kampus Fakultas Pertanian itu saya sedang sibuk di rumah mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian akhir ilmu bercocok tanam padi SPMA Bogor. Karena itu, tidak saya dengarkan pidato itu. Betapa terkejutnya saya keesokan harinya di ruang ujian ketika saya lihat bahwa semua soal jawabannya ada di dalam pidato Bung Karno itu.

Gedung Fakultas Pertanian itu adalah hasil rancangan konsorsium arsitek Belanda karena mendapat nilai sayembara yang tertinggi. Konsepnya adalah membuat gedung raksasa yang membuat orang terpesona. Sesungguhnya ada rancangan lain yang lebih baik, namun karena ia bukan kelahiran Zaandam, melainkan Porsea di tepi danau Toba, ia terpaksa dikalahkan.

Bagaimana mungkin seorang aristek berkulit coklat lulusan STM (MTS) ditambah satu tahun kuliah di Akademie der Beeldende Kunsten Amsterdam dapat mengalahkan pemikiran konsorsium aristek bule yang berasal dari Zaandam, Volendam, dan mungkin lagi Schiedam.

Namun, kenyataannya kalau Silaban-lah yang rancangannya dimenangkan, di Baranangsiang telah berdiri gedung-gedung fakultas itu bukan dalam bentuk masif, melainkan dalam bentuk permainan lego sehingga pembangunannya dapat dilakukan bertahap. Inilah juga sebabnya mengapa kampus Darmaga dibangun dengan prinsip permainan lego.

Jadi di Baranangsiang akhirnya didirikan Gedung Fakultas Pertanian yang hanya selesai dua per lima dari rancangan lengkapnya. Yang tidak terlaksana di antaranya ialah Aula dan Kolam Renang ukuran internasional.

BAHWA batu pertama diletakkan Bung Karno, itu dapat dibaca pada prasasti di bawah tangga masuk ke ruang pimpinan. Di bawah prasasti itu ada celah aerasi agar udara dapat bersirkulasi ke dalam ruang di balik prasasti marmer itu, karena di dalamnya disimpan suatu naskah yang ditulis di atas perkamen dan ditandatangani oleh Dr Ir Soekarno!

Kalau begitu caranya, gedung Baranangsiang itu sudah pantas diperlakukan sebagai situs sejarah, seperti juga yang bertetangga dengannya seharusnya dikonservasi karena arsitekturnya yang khas.

Sekarang gedung-gedung itu sudah menjadi outlet. Seperti juga Bandung yang tadinya dijuluki "Parijs van Java" telah berubah menjadi Kampung Outlet, Bogor, juga sedang menuju kehancuran sebagai kota pelajar. Yang penting adalah menanjakkan pendapatan asli daerah.

Celakanya Institut Pertanian Bogor sebagai Badan Hukum Milik Negara harus berpikir bisnis. Semua aset harus dimanfaatkan dari segi pengadaan dana. Setelah asrama Ekalokasari diubah menjadi pertokoan, apakah akan terjadi malapetaka kedua dengan berubahnya situs bersejarah Baranangsiang menjadi Pusat Perdagangan Internasional?

Kalau hal ini terjadi selain kita menghilangkan jejak sejarah, kita juga menghilangkan kesempatan bagi beribu-ribu pemuda Indonesia untuk mendapatkan pendidikan sains dan matematika yang baik. Tidak perlu di Darmaga. Cukup di situs bersejarah Baranangsiang, Gunung Gede, dan Taman Kencana kita dirikan USTB (Universitas Sains dan Teknologi Bogor) kalau IPB tidak mampu memelihara situs bersejarah itu untuk tetap menjadi pusat pendidikan yang erat hubungannya dengan alam sehingga didirikan berseberangan dengan Kebun Raya Indonesia.

Oleh Andi Hakim Nasoetion Guru Besar IPB.
Tags: Kampus, Situs Sejarah, Bogor, Kota Tua, Bung Karno, Barangnangsiang, Dermaga, IPB

Sumber: Harian Kompas, Sabtu, 2 Februari 2002.

Friday, September 17, 2010

Gara gara ikut gladik resik wisuda

 

Menunggu hujan reda menjelang magrib

 

Gara gara ikut gladik resik wisuda saya beli batik, seingat saya batik pertama yang saya pakai, akhir tahun 2005.  Sebelum sebelumnya belum pernah memakai batik, jadi otomatis gak punya baju batik satu pun.  Saat itu memakai batik menurut saya aneh saja bagi anak anak muda, jadi bukan anti bantik seperti kisah Mbah Jaya Perkasa yang cadu (anti) pakai batik bahkan bertemu orang yang memakai batik sekalipun, hingga untuk mengunjungi makamnya saja dilarang kita mengenakan batik.  Lagian saya kan hidup jamannya millennium dan tidak ada latar belakang seperti kisah Mbah Jaya Perkasa berperang (kisah perseteruaan antara kerajaan Sumedanglarang dengan Cirebon dengan latar belakang Putri Harisbaya).

 

Baju batik pertama dan lama juga pertama mendadak dibeli di toko yang ada di daerah Merdeka Bogor, ukurannya pun kebesaran, tetapi untuk dipakai sehari gak apa apa lah.  Saya saat itu tidak sampai menanyakan kenapa gladi resik wisuda harus memakai batik. Apakah pakemnya sudah begitu.  Apakah kalau tidak memamai batik akan dihukum atau lain sebagainya. Jadi dari pada repot repot berpikir merubah pakem dan merusak tradisi ritualnya prosesi gladi resik wisuda yang sekedar sesi yang masih kuingatnya (menempel di memori) hanya foto foto, lebih baik saya terpaksa beli batik, duitnya minta ortu.

 

Nah akhirnya batik pertama saya miliki dan sekali kalinya dalam jangka waktu yang lama pula gak pernah dipakai pakai lagi.  Sekarang tinggal sepatunya, karena tidak pas kalau atasan pakai batik masa sepatunya model cats (?), seingat saya sejak tingat taman kanak kanak sekalipun saya belum pernah mengenakan sepatu resmi model pentopel, dan untuk ukuran mendadak membeli sepatu model begini bukan harga yang murah.  Akhirnya untuk sepatunya saya putuskan meminjam, masih ingat sepatu yang saya pinjam miliknya teman sekamar ngekost yang kebetulan sudah duluan wisuda, kaka kelas Jurusan Kehutanan. Merek sepatunya masih ingat, lumayan terkenal yaitu Yongki Kamanadeui (diplesetin) nomor nya 1 nomor lebih besar dari ukuran sepatu yang biasa saya pakai, sedikit longgar, tapi gak apa apa lah. 

 

Jadi lengkap sudah atribut saya untuk mengikuti gladi resik wisuda saat itu, satu diantara ribuan wisudawan dan wisudawati dengan kisah batik dan sepatunya masing-masing.  To Mbah Jaya Perkasa patih kerarajaan sunda terakhir seandainya saya keturunanmu izinkan saya memakai batik, sejak saat itu hingga kini, tetapi tidak jika ketika suatu saat nanti saya ziarah ke pusaramu.

 

Salam hangat.

 

Bandung, 17 September 2010

 

 

 

Lamsijan Jumaahan

 

Kacaturkeun Lamsijan ngilu jumaahan jadi salah sahiji jamaah masjid. Tos biasa di ungal masjid lamun imam keur naek mimbar khotbah sok aya kencleng muter.  Harita oge di Masjid tempatna Lamsijan jumaahan kitu.  Gancangna wae, kencleng muterna geus deukeut ka manehna, terus lamsijan ngodokan saku niat rek ngasupan kencleng milihan duit pangleutikna anu pecahan sarebu salambar. 

Palebah kencleng geus hareupeun, salah saurang jamaah anu persis ditukangeun manehna noelan bari ngasong ngasong duit saratus rebu salambar.  Ditampanan we ku manehna bari terus diasupkeun kanu kencleng, “Ieu jelema meni gojeh arek ngasupan kencleng saratus rebu wae oge teu sabaran meni noelan, tungguan we da engke oge kenclengna muter”, si Lamsijan gegerentes jero hatena.  Duit sarebuna oge sup weh deuih. 

Tapi teu kungsi lila eta jelema nu tadi noel geus noel deui, ayeunamah bari ngaharewos kieu “artos akang saratus rebu tadi nuju ngodok saku murag”. 

Si Lamsijan ngabelengep bari terus mencrong kencleng nu muter…

hehe

 

 

Thursday, September 16, 2010

Mudik dan jalan jalan lebaran dengan motor CB

Foto 1 di bawah ini diambil dari Koran Pikiran Rakyat pada rubrik foto foto (halaman tengah) tanggalnya lupa yg jelas beberapa hari menjelang hari H, kebetulan yang menjadi objek foto adalah pemudik menggunakan motor dan kebetulan juga motornya CB 100 Gelatik. Foto ini berjudul “Menembus Hujan”. Nampak Bapak paruh baya berboncengan dengan bawaan tas yang penuh. Walau kondisinya hujan pengendara dan motornya tampak segar dan gagah.

Salut..

Foto 2 di bawah saat jalan jalan di kota kelahiran Smd dengan motor cb, walaupun suasana lebaran (H+2) jalan tetap tampak lengang.

Kepadatan hanya sedikit di Bunderan kondisinya padat merayap. Inilah yang namanya jembatan Cipeles jalur yang menuju ke arah Wado, kemudian Malangbong Garut (Jalur Selatan) dan seterusnya, jalur ini biasa digunakan atau dijadikan alternative menghindari kemacetan di Nagrek Garut. Kondisi jalannya berkelok kelok naik turun mengikuti kontur wilayah itu yang berbukit*** 6363CC

Saturday, September 4, 2010

Tikus kota matinya tergilas

Menulis sesuatu yang sepertinya tidak penting dibicarakan, apalagi dibandingkan dengan isu isu yang pelik setiap harinya yang memenuhi media masa. Seperti kasus pencabulan, korupsi, pelanggaran batas negara, kartu ucapan lebaran gubernur se milyar dan lain sebagainya. Ruang publik dipenuhi siaran muram. Oh tidak..
Langsung saja ke judul tikus kota matinya tergilas, memang benar begitu kenyataanya. Coba perhatikan beberapa kasus yang membuat matinya tikus tikus kota, lebih banyak diakibatkan tergilas kendaraan motor atau mobil bahkan ban tukang beca daripada dimangsa predatornya. Ini penyebab, ingat bukan yang menentukan kematian karena kalau soal menentukan tikus juga memiliki hak hidup dan mati dari sang pencipta.
Nah kenapa coba begitu ?, tentu jawabannya tidak terlalu memerlukan pemikiran yang pelik apalagi mengkait kaitkan begitu banyak teori, seperti latar belakang terbunuh, motif terbunuh atau alasan ekonomi terbunuh itu gak penting. Jadi jawabannya ya takdir, takdirmu tikus tak punya musuh/predator yang kau takuti seperti ular cobra yang bebisa, ular sanca yang besar dan kuat, burung hantu yang matanya silau. Bahkan musuh abadimu si Tom (kucing) yang ngetrend karena tanyangan film kartun barat Tom and Jerry* (kisah film kartun antara Tom adalah kucing dan Jerry adalah tikus yang selalu kejar kejaran) tak berlaku. Sungguh kucing sudah kehilangan selera menangkap dan memakanmu karena kucing kini telah sangat sangat memahami masalah HAM dan kemanusiaan.
Oh iya, tidak lupa tentunya saya juga tidak berselera juga membunuhmu, ya selain karena sekarang kamu tak malu malu lagi menampakan diri dibandingkan bersembunyi di lubang kubang got juga karena kasus kasus terakhir itu loh, dagingmu kini tak laku lagi dijadikan bahan baku pembuatan bakso. Ini akibat pencari berita berita itu, jangan salahkan saya.
Kesimpulannya, jadi semakin menguatkan judul bahwa tikus kota matinya banyak diakibatkan tergilas selain terkena stroke. Jadi sarannya berhati hatilah menyebrang jalan dan jangan lupa gunakan helm SNI kalau naik motor.

Salam KPK (kok pusing kieu)

Bandung, 4 September 2010