Pages

Friday, May 14, 2010

Kaki Gunung Tampomas dan Jagur



".....dari mana datangnya lintah, dari sawah turun ke kali
dari mana datangnya cinta, dari mata turun ke hati......."


Begitulah pagi itu dibuka oleh penggalan lagunya bejudul "Kembang Boled" yang dipopulerkan penyanyi bernama Bungsu Bandung. Masih penyanyi asal daerah itu meski tidak tepat di kaki Gunung Tampomas, Sumedang. Meluncur dari bibir penyanyi lokal ,diiringi kendang penca yang mulai dipukul dan bunyi terompet khas. Untuk pertunjukan salah satu kesenian khas tatar Pasundan, Jawa Barat " Ngadu domba " atau kesenian tangkas domba.

Menonton pertunjukan ini mungkin tidak semuanya suka, karena domba yang diadu membuat sebagian penonton mungkin merasa ngilu, kepala pusing ataupun kasian terhadap dombanya. Namun itulah kesenian tangkas domba yang sebagian besar penggemarnya didominasi oleh kaum pria. Kesenian ini turun temurun dan sekarang semakin variatif. Tidak hanya bagaimana domba diadu tetapi itu hiburan, bagaimana kesenian lainnya juga dapat tampil dan eksis. Apresiasi atau motivasi peternak domba kambing untuk lebih menghasilkan domba domba berkualitas.

Jagur, nama motor sudah duluan diparkir di pinggir arena yang mungkin sebentar lagi penuh penonton. Pa Kuwu Encep dengan pakaian serba hitam memakai topik laken (topi koboy) seperti di Texas sana tampak gagah memimpin ditengah arena sebagai wasit pertandingan, tampak juga Mang Engkus sama memakai pakaian hitam, si wakwak, Asep Beben dan penonton lainnya yang rata berpakaian hitam hitam dengan memakai
totopong (iket kepala) khas sunda. Hari itu, minggu ke tiga setiap bulannya di arena Dasa Grup "Kaki Gunung Tampomas" terlihat ramai dengan hadirnya banyak tamu undangan dari berbagai kota di Jawa Barat.

Arena Dasa Grup (berlokasi di kaki Gunung Tampomas), diambil dari nama salah satu domba milik Haji Abidin, domba yang terkenal gagah pada masanya, dengan tanduk berdiri kokoh, dan memiliki bulu yang bagus kalau sedang tanding tampak sebagai satria (berani). Jangan salah domba bisa memiliki nama nama yang bagus, seperti si pilar, si sinar, jenet, si baranyay, barasat dan lain sebagainya.

Pertunjukan dimulai, kang cece tampil kedepan ngibing (menari) silat mengiringi dombanya yang masuk arena musik pengiring meriah, tak kalah sang lawan dari kota lain menyambut masuk arena sebagai lawan memasukan dombanya, Kuwu Encep sigap memimpin. Kemudian domba diadu 15 hingga 30 hitungan tergantung usia domba dan kelas*. Yang punya akan tampak senang kalau domba diadu serasi, mundur yang panjang kemudian lari maju kencang menerjang dengan gesit, apalagi kalau kaki domba seolah menyusur tanah yang dipijak. Itulah domba unggulan dan akan melambungkan nama domba tersebut, pemiliknya hingga harga jualnya bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Pemilik tampak senang setelah domba diadu gagah, kemudian setelah itu biasa merequest lagu "Kembang Gadung" salah satunya sambil ngibing penca memperlihatkan jurus jurus ibing, tak kalah gagah dari jagoannya. Diakhiri sawer ke pengiring. Begitulah pertunjukan ini berulang sampai hari menjelang siang.

Jagur pun pergi beranjak dari parkir untuk perunjukan lainnya yang gak kalah menarik... gas pol*** (next story)




Note (*
Kelas kelas domba (biasanya berdasarkan ukuran dan bobot)
A : kelas paling besar dengan berat 60 - 80 kg
B : kelas dibawahnya dengan berat 40 - 59 kg
C : kelas dengan berat 25 - 39 kg
D : kelas dengan berat di bawah 25 kg

Usia domba biasanya ditandai dengan jumlah gigi tanggal berdasarkan urutan usia muda ke tua :
satu kali artinya dua gigi tanggal (peunglak dua)
dua kali artinya empat gigi tanggal (penglak opat)
hingga empat kali artinya delapan gigi tanggal


Bandung, 15 Mei 2010

2 comments: